Nasib Naga Di Pondok Kelapa

Petani Buah Naga Butuh Tambahan Modal
Kendati tak memerlukan perawatan khusus, namun bertanam pohon Buah Naga membutuhkan modal tidak sedikit. Kesulitan memperoleh tambahan modal itulah yang menjadi permasalahan petani buah Naga, H. M. Nur, yang memiliki bibit pohon Buah Naga sekitar 8.000 batang di Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S), Cita Laksana Mandiri di Desa Pekik Nyaring, Bengkulu Tengah.
“Belum semuanya dipindahkan ke lahan. Pendanaan yang kami miliki terbatas. Terutama untuk membuat tiang semen penyangganya. Kalau pakai kayu, gampang rusak. Kalau pohonnya sudah berbuah, kayu bisa patah,” ujar Helmi kepada Radar Bengkulu, Senin (4/4).
Helmi mengatakan, bibit pohon buah naga dibeli dengan harga Rp 20.000 perbatang di Padang dan Lampung. Sebelum dipindahkan ke lahan, tanah lahan harus digemburkan dengan menggunakan pupuk kandang dan disterilkan dari hama seperti cacing dan serangga. Kemudian, tanah ditutup dengan mulsa. “Kalau tidak ada mulsa, bisa juga menggunakan jerami atau alang-alang,” kata Helmi.
Setelah 20 hari, bibit sudah bisa dipindahkan ke lahan. Untuk penyiraman tidak perlu dilakukan secara rutin. Dalam seminggu cukup 2 kali, walaupun musim kemarau. “Empat bulan berikutnya baru bisa diberikan pupuk tambahan seperti NPK. Dan untuk selanjutnya, dapat dilakukan sesuai kebutuhan saja. Dan biasanya pohon baru berbuah bila sudah berumur 8 bulan,” ujar Helmi.
Buah Naga atau Lung Kuo (Mandarin) atau Red Pitaya (Inggris) adalah buah dari kaktus madu dari marga Hycolereus dan Selenicereus. Pohon yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan ini diyakini bisa menyembuhkan kanker usus, mengurangi kolesterol, pencegah pendarahan, keputihan, menghambat pertumbuhan sel tumor dan lainnya. “Budidaya buah naga ini bisa menjadi komoditi unggulan atau agrowisata,” kata Helmi.

Belum Tersentuh Perhatian Pemerintah
Kendati di bawah naungan P4S, Helmi mengatakan belum pernah tersentuh bantuan modal dari Pemda Benteng dan. Pernah ditawari bantuan dari Pemerintah pusat, namun upayanya untuk mendapatkannya terkendala birokrasi instansi terkait. Alhasil, tawaran tersebut pun tidak bisa diraihnya. Akibatnya, pengelolaannya dilakukan secara “survive”. “Kepahiang saja belajar di sini untuk pengelolaannya, lalu Pemda Benteng sepertinya tidak peduli dengan usaha ini?” kata Helmi. (jek)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar