Generasi Bengkulu Rentan Jadi Bodoh
Efek Samping Pencemaran
        Efek samping kandungan logam berat yang mencemari Air Sungai Bengkulu yang juga bahan baku PDAM terkategori sangat berbahaya. Bila tetap mengonsumsinya,  masyarakat sangat rentan mendapat serangan kanker, gangguan ginjal dan hati, sistem reproduksi, fungsi paru-paru, jaringan kulit dan sebagainya serta dapat menurunkan IQ (intelligence quotient) anak.
"Cepat atau lambat warga akan terjangkiti. Belum lagi efek domino lainnya. Jika tidak segera ditanggapi dan dicarikan alternatifnya, gawat nanti," ujar Lektor Kepala Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Alam Unib, Dr. Agus Martono, HP, DEA kepada Radar Bengkulu, Kamis (16/6).
Karena itu, Agus menilai, Pemkot harus mencari pengganti sumber baku air PDAM. Itu harus dilakukan karena pengolahan air minum yang diterapkan PDAM tidak bisa menghilangkan kandungan logam tersebut. Kaporit dan tawas yang selama ini digunakan PDAM hanya berfungsi untuk menjernihkan dan membunuh kuman e-coli dan salmonela, tidak dapat menghancurkan kandungan logam tersebut.
“Solusinya, alihkan sumber air PDAM ke air Nelas bahkan bila perlu tutup tambang batu baranya. Bukti yang dipaparkan oleh BLH sudah cukup untuk menjadi dasar bagi masyarakat untuk menggugat ataupun bagi Pemkot untuk menindaknya sesegera mungkin," ujar akademisi lulusan Institut National Polytechnic Toulouse Perancis ini.
Terkait pelarangan bagi warga pengumpul batu bara di air Bengkulu, Agus menilai hal tersebut tidak akan menjawab persoalan yang sebenarnya. "Potong di hulunya, bukan di hilirnya. Pelarangan pengumpul batu bara bukan jawaban untuk penyelesaian urusan pencemaran," kata Agus.

Pengumpul Batu Bara Tolak Pelarangan
Terpisah, para pengumpul batu bara menentang rekomendasi pelarangan pengumpulan batu bara tersebut. "Melarang kami mengumpulkan batu bara, sama saja dengan melarang kami untuk hidup. Kami akan siap pertaruhkan hidup kami kalau memang sampai dilarang," kata seorang pengumpul batu bara, Susi (30).
Malahan, sambung Susi, dengan adanya aktifitas mereka, persoalan banjir yang kerap melanda di daerah Tanjung Agung dan Rawa Makmur dapat dikurangi. "Banjir itu kan karena pendangkalan akibat batu bara. Sudah untung kami yang keruk dan kumpulkan batu bara di sini, sudah jarang kan banjir di Rawa Makmur dan Tanjung Agung," ujar Susi.
Pengumpul batu bara lainnya, Suhatmansyah (52) meminta agar pemerintah dapat lebih bijak. Sebab, ada sekitar ribuan warga yang menggantungkan nasib dari pengumpulan batu bara. "Tidak sedikit mereka yang dari luar kota, ada yang dari Kaur, Talo, Padang Guci dan lain-lain yang mengadu nasib dengan mengumpulkan batu bara. Apa pemerintah sanggup gantikan nasi periuk kami?" kata Suhatmansyah.
Untuk itu, sambung Suhatmansyah, dia bersama dengan beberapa orang pengumpul batu bara akan segera berkoordinasi dan menyamakan visi bersama untuk melakukan penolakan jika memang akan ditertibkan oleh pemerintah.
"Bukan apa-apa, nasib hidup kami ada di sini. Kami akan kumpul bersama nanti, saya yakin seluruh pengumpul batu bara disini pasti menolak kalau dilarang untuk kerja di sini," ujar Suhatmansyah. (jek)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar