Adek Berry, Pewarta Foto Asal Bengkulu Yang Sudah Mendunia
Berprinsip Learning By Doing dan Safety The First


"Sebagian orang mungkin heran, ketika seorang perempuan seperti kami harus menjinjing peralatan foto yang berat dan pergi begitu jauh dari rumah untuk melihat dan merekam bahaya yang notabene semua orang lari menghindarinya. Namun bagi saya, selama masih bisa kita ukur tingkat risiko dan kondisi di lapangan, rasanya bukan masalah besar. Moment harus didapat," ujar jurnalis foto perempuan dari kantor berita Perancis, Agence France Presse (AFP), Lastri Wijaya (40), memulai bercerita kepada Radar Bengkulu.

Harry Siswoyo, Bengkulu 

Istri dan Ibu dari dua anak yang akrab dipanggil dengan 'Adek Berry' ini, namanya memang sudah jauh malang melintang di dunia photography jurnalistik. Adek yang lahir pada 14 September 1971 di Curup, Rejang Lebong ini kerap dipercaya meliputi daerah konflik seperti di Afganistan, Pakistan, Irak dan sejumlah negara lainnya. "Ya..dunia jurnalistik memang penuh dinamika dan turbulensi. Pagi hari masih bermain dengan anak atau menyiram tanaman di rumah, kadang sebelum siangnya sudah harus terbang ke suatu tempat untuk liputan," ujar Adek sambil tersenyum.
Sarjana Teknologi Pertanian yang memulai karir jurnalistik pada 1997 ini, sejak duduk di bangku SMAN 2 Bengkulu gemar menulis dan memotret. Bagi Adek, memotret seperti tidak ada bedanya dengan menulis. Karena itu, Adek suka menggali cerita di balik foto karyanya. "Foto itu bisa menceritakan apa saja, mengungkap apa saja dan menggambarkan apa saja. Dari foto akan lahir cerita, jadi ambillah gambar sebanyak-banyaknya, tidak perlu ragu atau malu, saya saja learning by doing saja cukup," ujar alumni Universitas Jember ini.
Sekalipun peralatan sederhana, lanjut Adek, bukan menjadi masalah bagi seorang fotografer. Kamera profesional seperti SLR (Single Lens Reflect) atau kamera saku bahkan kamera handphone sekalipun bisa menjadi sarananya. Yang terpenting adalah kemampuan teknis fotografi. "Tidak penting senjatanya apa kalau yang mengoperasikannya ternyata tidak bisa. Kamera saku atau hasil jepret HP jauh lebih bernilai dibandingkan hasil jepret SLR yang dipakai oleh orang yang tidak paham teknis penggunaannya," kata Adek yang juga Alumni SMP N 2 Bengkulu.
Segudang penghargaan internasional yang telah diperoleh Adek. Salah satunya, Honourable Mention untuk lomba The Best of Photojournalism (BOP) yang diselenggarakan NPPA (National Press Photographer Association) USA untuk kategori Disaster (bencana) pada 2007. Karyanya yang dilombakan adalah foto tentang pengungsi Gunung Merapi di Desa Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta saat menyambut bantuan gempa bumi berupa obat-obatan dan makanan dari TNI. "Saya sebenarnya tidak bermaksud untuk memperlombakannya, tapi kantor AFP yang mengikutkannya," kenang Adek yang merupakan saudara kandung Guru Besar FE Unib, Prof. Lizar Alafansi, SE, MBA.
Safety the first, demikian prinsip Adek setiap akan ditugaskan meliput wilayah konflik atau bencana. Apalagi, wartawan atau fotografer yang akan meliput di daerah perang seperti di Afganistan atau Pakistan kerap mendapat ancaman dari intelijen militer. Bahkan tidak jarang, wartawan pun disandera dan dibunuh oleh intelijen.
Sementara kalau di Myanmar, negara dengan rezim militer yang arogan, lanjut Adek, para fotografer yang ingin selamat dan bisa keluar dari Myanmar umumnya harus mengirimkan karya hasil jepretan dan dikirim tanpa nama. "Jadi cukup AFP saja misalnya, jangan pake nama, bisa-bisa kita nggak akan keluar lagi dari Myanmar. Untuk itu, saya selalu berprinsip Saffety the first, kaidah-kaidah hukum jangan kita langgar lah, keselamatan wartawan tetap nomor satu dong." ujar Adek.
Sekarang, lanjut Adek, untuk kebutuhan kantor, selain photo setiap fotografer juga harus bisa mengambil visual kejadian berupa video. Dengan begitu, para jurnalis foto pun harus membekali diri dengan kamera photo yang juga bisa merekam video. Pengirimannya pun sedikit njlimet karena harus menggunakan telepon satelit dan akses internet yang mumpuni.
Berbeda dengan pengiriman foto, ukuran berita video yang berat, lumayan membuat kewalahan wartawan saat akan mengirimkannya ke kantor berita. "Memang agak ribet sih, kadang-kadang ada moment yang bagus sering ketinggalan, karena sedang mengambil videonya. Kalo sekarang saya sedang membiasakannya lah," ujar wanita pengguna Nikon D3S ini, sambil tersenyum.
Kegemarannya memotret yang selaras dengan hobi melakukan traveling naik turun gunung itu, juga mendapatkan restu dari sang suami tercinta. Walau sekali berangkat liputan ke luar negeri membutuhkan waktu dari 3 hari sampai dengan 1,5 bulan, sang suami bisa memahaminya. "Awalnya memang sedikit susah, tapi lama-lama sudah terbiasa. Jaga kepercayaan suami dan bisa jaga diri lah," ujar Adek.
Apakah ingin bergabung dengan media lokal nasional di Indonesia? Adek mengatakan masih akan memfokuskan diri untuk berkarya di AFP. Dengan latar belakang beragam kultur dan karakter di AFP, membuat Adek ingin mengeksplorasi lebih dalam. "Masih banyak sekali yang ingin saya pelajari. Kultur budaya, perbedaan bahasa, gaya dan tutur mereka. Asyik loh belajar sambil berkarya seperti ini," ujar perempuan yang fasih bahasa Inggris ini.
Ditemui saat mengisi Seminar Nasional Fotografer : Antara Profesi dan Hobby, yang diselenggarakan Himastik Unib, Senin (16/5), Adek juga sempat berpesan agar komunitas fotografi di Bengkulu agar dapat dikembangkan dan dibangun secara profesional. "Komunitas fotografi di Bengkulu harus hidup. Saya sejak lama cari-cari info tentang komunitas fotografi di Bengkulu, tapi belum pernah terdengar. Mudah-mudahan dari hasil hari ini, rekan-rekan mau dan berminat untuk menseriuskannya," ujar Adek.
Adek juga berencana membuat otobiografi diri berupa catatan perjalanan dan kisah yang pernah dialaminya. "Sampai dengan saat ini masih dalam proses. Doakan ya, mudah-mudahan tidak ada halangan terbitnya," harap Adek. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar