"Lihat saja kondisi APBD Kota dan Provinsi, pengeluarannya justru didominasi oleh pengeluaran untuk pegawai. Sedikit sekali yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat, apa tidak pemiskinan ini namanya?" Asep Topan

Secara Sistemik Orang Bengkulu Dimiskinkan
RBI, BENGKULU - Secara politis bisa saja dikatakan Indonesia sudah merdeka yang sudah ditandai dikukuhkannya proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun secara sosial ekonomi, kemerdekaan tersebut belum dinikmati rakyat. Hampir sebagian besar rakyat Indonesia masih hidup dalam kemiskinan dan sengaja dimiskinkan secara sistemik, termasuk orang Bengkulu. Demikian dikemukakan Pengamat Sosial Unib Drs. Asep Topan, M. Si, Kamis (18/8).
Menurut Asep, 66 tahun perjalanan Indonesia belum sepenuhnya kemerdekaan dinikmati rakyat Indonesia. Sebab, negara sudah menskenariokan secara sistemik dan terstruktural untuk memiskinkan rakyatnya. Disparitas (kesenjangan) antara yang miskin dan kaya semakin lebar sehingga memicu gejolak sosial untuk menuntut kemerdekaan hakiki. "Wajar saja kalau ada yang protes belum merdeka. Sebab negara kita sendiri yang menciptakannya. Orang-orang kita ini sengaja dimiskinkan secara sistemik," ujar Asep.
Pemiskinan tersebut, sambung Asep, secara struktural sudah membelenggu bangsa Indonesia jauh semenjak kemerdekaan Indonesia pertama kali dikumandangkan. Mobilitas sosial yang signifikan tentang kesetaraan nasib tidak pernah terjadi. Pengkayaan justru terjadi pada pihak-pihak pemilik modal yang hidup dan hadir dalam pemerintahan.
"Sistem negara ini sudah mengabaikan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Kemerdekaan akhirnya hanya tercipta bagi para pemilik modal, bukan untuk orang-orang yang sudah dimiskinkan secara strukturalis," ujar alumnus UGM ini.
Ketika dibandingkan dengan kondisi negara lain seperti di Afrika, lanjut Asep, kondisi Indonesia jauh lebih unggul. Dari segi SDM dan kekayaan SDA, Indonesia jauh lebih kaya dan memiliki nasib yang jelas. Sehingga secara sembarang dapat dikatakan bahwa tidak ada alasan sebenarnya rakyat Indonesia harus miskin seperti di Afrika. Tapi kenyataannya, tambah Asep, kondisi Indonesia malah tidak jauh beda miskin rakyatnya dengan Afrika.
"Ini kan sudah soal sistemnya yang bermasalah, jadi bukan lagi soal nasib. Nasib kita jauh lebih baik dari Afrika, terus kenapa masih miskin? Inilah yang saya sebut tadi pemiskinan sistemik," ujar Asep.
Dengan begitu, tambah Asep, selama tidak ada perubahan secara fundamental dalam struktur birokrasi dan sistem negara, tidak akan pernah tercipta kemerdekaan yang hakiki bagi seluruh rakyat Indonesia. "Harus ada perubahan secara fundamental, revolusi birokrasi bila perlu, jadi bukan lagi revolusi sosial yang didengungkan," ujar pria kelahiran 1961 ini.

Bengkulu Tidak Jauh Beda
Bagaimana dengan kondisi Kota Bengkulu? Menurut Asep, tidak jauh berbeda, juga terjadi pemiskinan secara sistemik. Mayoritas kekayaan Provinsi Bengkulu dan Kota Bengkulu dikuasai orang-orang tertentu dan diatur sedemikian rupa sehingga tidak melanggar hukum ataupun dianggap merugikan.
"Secara hukum mereka (pemilik modal) benar, tidak ada masalah sama sekali. Tapi lihat lagi efeknya, masyarakat Bengkulu justru tidak menikmati sepeser pun dari aktivitas tersebut. Artinya, secara sistemik orang Bengkulu juga sudah dimiskinkan," kata Asep.
Begitupun dengan kondisi sosial di kalangan pemerintahan, sambung Asep, secara sistemik telah membuat celah untuk melakukan korupsi dan penyelewengan. Masyarakat akhirnya menjadi penonton apatis, yang suka atau tidak suka membiarkan kondisi tersebut membelenggu mereka.
"Lihat saja kondisi APBD Kota dan Provinsi, pengeluarannya justru didominasi oleh pengeluaran untuk pegawai. Sedikit sekali yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat, apa tidak pemiskinan ini namanya?" ujar Asep.
Untuk itu, tambah Asep, sepantasnya  selain langkah strategis berupa reformasi fundamental sistem yang ada di Bengkulu, sebagai langkah taktisnya khususnya Pemkot Bengkulu untuk meredam gejolak sosial yang menuntut kemerdekaan secara hakiki bagi warga kota. Perlu dibuat upaya untuk pemberdayaan masyarakat dengan membangun ekonomi dari rakyat untuk rakyat. "Hidupkan ekonomi masyarakat, jangan perbesar disparitas dan reformasi sistem yang ada di pemerintahan, maka kemerdekaan bukan tidak mungkin bisa jadi milik semua orang Bengkulu," ujar Asep. (jek)

“Kami Belum Merdeka”
Pemiskinan Terus Dilakukan Penguasa
RBI, BENGKULU – Sejumlah warga mengaku belum merasa merdeka. Bagi mereka, kemerdekaan itu hanya milik segelintir orang seperti para pejabat dan petinggi yang bekerja di lingkungan eksekutif, yudikatif dan legislatif.  “Kemerdekaan bukan milik tukang becak," ujar salah seorang pengayuh becak di jalan Iskandar Tengah Padang Sarmun dengan lesu kepada Radar Bengkulu saat ditemui di pangkalannya di jalan Iskandar Tengah Padang, Rabu (17/8).
Sarmun yang telah berusia 53 tahun itu bersikeras, tetap tidak bisa memaksakan diri untuk menikmati perayaan kemerdekaan. Alasan Sarmun, selama dirinya dan keluarga masih tetap sengsara, yakni susah dalam mendapatkan hak untuk tidak direndahkan sebagai tukang becak dan sulit untuk mendapatkan uang ataupun penghidupan yang layak, tetap belum merdeka. "Merdeka itu kalau banyak uang, tidak lagi sebagai tukang becak dan punya rumah bagus. Itu baru merdeka. Kami tukang becak masih jauh sepertinya," ujar Sarmun.
Sehingga, menurut Sarmun, secara keseluruhan kemerdekaan tersebut hanya bisa dirasakan dan dinikmati oleh segelintir orang saja. Sementara sebagian lainnya, justru tidak bisa menikmati dan memahami makna dari kemerdekaan itu sendiri."Boleh tanya dengan pejabat-pejabat yang upacara tadi, kalau tidak makan sehari karena tidak dapat uang, itu kira-kira merdeka tidak?" ujar Sarmun.
Ayah dari 4 orang anak itu juga berharap pemerintah lebih memperhatikan kaum-kaum pinggiran kota yang masih jauh dari ketenangan hidupnya. Sehingga nuansa kemerdekaan yang digaungkan juga dapat mereka rasakan. "Upacara boleh, tapi jangan lupa pikirkan juga kami yang tidak pernah dapat upacara ini, yang tiap harinya cuma mengayuh becak saja kerjanya," ujar Sarmun penuh harap.
Serupa dengan Sarmun, seorang kuli harian di PTM Pasar Minggu Ali Hanafiah (56) mengaku tidak bisa menikmati makna dari kemerdekaan. Ali berpandangan kemerdekaan hanya untuk petinggi dan orang yang sudah berpenghasilan tetap. "Merdeka tidak cukup bebas dari penjajah saja, tapi merdeka juga harus bebas dari derita. Selama kami orang kecil selalu menderita, belum berani kami katakan kalau sudah merdeka. Pejabat dan orang kaya mungkin bisa bilang. Kami tidak," ujar Ali

Rakyat Masih Sengsara
Senada diungkapkan Presidium Komite Aksi Jaminan Sosial, Indra Munaswar. Menurutnya, memang sudah 66 tahun Indonesia terlepas dari penjajahan Belanda. Dan hal itu menurutnya, sebagai anugerah Allah SWT memang patut disyukuri."Tapi kemerdekaan yang hakiki untuk seluruh rakyat Indonesia di negerinya sendiri, masih sangat jauh dari cita-cita proklamasi itu sendiri," kata Indra, Rabu (17/8), di Jakarta.
Indra melanjutkan, sampai saat ini rakyat masih belum terlepas dari penjajahan sikap-sikap keserakahan para penguasa negeri sendiri. Menurutnya, kemiskinan yang diderita sebagian besar rakyat Indonesia bukanlah karena kodratnya harus miskin. "Tetapi karena pemiskinan yang terus dan terus dilakukan oleh para penguasa negara," kata Indra.
Salah satu buktinya, lanjut Indra, adalah tidak adanya kehendak yang tulus sesuai konstitusi dari penguasa negara untuk mengimplementasikan jaminan sosial bagi seluruh rakyat, berdasarkan amanat Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 281 ayat (4) Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007 tahun 2005.
"Akibatnya, masih banyak (rakyat) mati tanpa terlebih dahulu mendapat pengobatan dan perawatan dari negara, karena rakyat tidak mampu membayar rumah sakit, dokter, obat dan kebutuhan medik lainnya," sebut Indra.
Indra juga menilai rakyat Indonesia kini bukan saja harus terus berjuang demi kemerdekaan kedua dari penjajahan penguasa bangsa sendiri, namun juga penjajahan ekonomi dari bangsa asing yang terus menggerogoti kekayaan negeri ini tanpa dilawan. "Bahkan malah ditemani oleh penguasa negara dan antek-antek asing dari bangsa Indonesia itu sendiri, yang suka hidup senang di atas penderitaan orang lain," kata Indra. (jek/boy/jpnn)

"Setali tiga uang lah Walikota dan DPRD. Yang satu sibuk mengkritik, yang satunya lagi sibuk cari simpati. Sementara, kering tetap kering, tidak juga berubah jadi basah,” Anggota BEM Fakultas Ekonomi Unib M. Reza Gautama

DPRD: Walikota Tak Beri Solusi Strategis 
RBI, BENGKULU - Sekretaris Komisi III DPRD Kota Bengkulu Nuharman, SH menilai hasil kunjungan Walikota Bengkulu H. Ahmad Kanedi, SH, MH tidak memberikan solusi strategis terhadap masalah yang dihadapi ratusan petani di Kelurahan Dusun Besar, Panorama, Surabaya dan Semarang. "Kekeringan ini cuma efek saja, akar permasalahannya sama sekali tidak tersentuh. Jadi wajar saja kalau kami nilai ini cuma temporal saja, karena tidak memberikan jawaban yang sesungguhnya," ujar Nuharman, Sabtu (13/8).
Akar permasalahannya, menurut Nuharman, rusaknya daerah tangkapan air (catchment area) bagi air untuk Danau Dendam Tak Sudah (DDTS). Sehingga, Danau Dendam Tak Sudah (DDTS) sifatnya hanya menunggu air dari air hujan. "Semakin rendah curah hujan, maka turun juga tinggi muka air DDTS," ujar Nuharman.
Menurut Nuharman, harusnya Pemkot Bengkulu khususnya Walikota memikirkan solusi jangka panjang kedepan untuk menjaga pasokan air di DDTS. Tanpa konsep tersebut, bukan tidak mungkin masalah kekeringan yang kerap menghantui ratusan petani akan selalu terulang dan menimbulkan efek yang semakin lama semakin besar. "Selama tidak ada pemikiran untuk mengantisipasi pasokan air tadi, kekeringan akan menjadi agenda rutin," ujar Nuharman.
Senada diungkapkan Wakil Ketua I DPRD Kota Bengkulu Irman Sawiran, Jumat (12/8).
"Akar masalahnya hingga kini kan belum terpecahkan. Salah satu penyebab kekeringan ratusan hektar sawah milik petani disebabkan banyak bangunan di sepanjang sawah. Jadi, harus ada kebijakan yang memang bersifat jangka panjang. Dan hal seperti ini belum ada yang dilakukan Walikota," kata Irman.
      Irman memberikan apresiasi kepada Walikota yang sudah turun meninjau lokasi sawah yang kekeringan. Namun, kunjungan tersebut tidak akan menjadi solusi jangka panjang. Apalagi, bila Walikota tetap tidak tegas. “Itu artinya Walikota peka. Tapi di sisi lain masyarakat menunggu kepastian upaya pemerintah kota bagaimana mencarikan solusi jangka panjang," terang Irman.
Menyediakan pompa, tambah Irman, bukan langkah konkret dan terkesan instan dalam mengatasi masalah kekeringan. Apalagi untuk menggunakan pompa terus menerus dan merawatnya, membutuhkan biaya yang tidak kecil. "Jadi beban petani semakin berat. Tidak ada jalan lain Walikota harus segara mengamankan daerah resapan air dari alih fungsi lahan menjadi pemukiman. Kalau itu tidak dilakukan, tetap saja kekeringan terus terjadi dan bukan tidak mungkin semakin parah," kata Irman.

DPRD Tidak Berbeda Dengan Walikota
Terpisah, Wakil Kepala Bidang Pengabdian Masyarakat BEM Fakultas Ekonomi Unib M. Reza Gautama mengatakan, penilaian DPRD tersebut juga tidak membawa solusi. Tanpa praktik, apa yang telah dikritisi DPRD tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan Walikota. "Sah-sah saja sebenarnya DPRD punya sikap seperti itu, tapi yang jadi persoalan juga sebenarnya, yang dilakukan dewan sekarang apa? jangan-jangan belum juga ada tindak konkretnya," sindir Reza.
Selama ini, lanjut Reza, kerap terjadi apa yang disampaikan Dewan tidak lebih hanya sebatas ungkapan dan tidak berujung pada penyelesaian persoalan yang sebenarnya. Sehingga, kesimpulan publik tetap tidak mampu menemukan jawaban dari apa yang telah disampaikan kepada Dewan dan Walikota.
"Setali tiga uang lah Walikota dan DPRD, yang satu sibuk mengkritik, yang satunya lagi sibuk cari simpati. Sementara, kering tetap kering, tidak juga berubah jadi basah." ujar Reza.
Untuk itu, tambah Reza, sepantasnya DPRD juga mau menunjukkan apa yang bisa dilakukan. "Sekurangnya kunjungan yang sama seperti Walikota lakukan. Jadi tidak cukup kritik saja," ujar Reza. (jek)

Makin Dekati Masa Panen, Batang Padi Mulai Roboh 
Sebelum Lebaran, Bangunan Dibongkar
RBI, BENGKULU – Diduga karena tidak kuat menopang daun dan buah, ratusan batang padi di Kelurahan Dusun Besar yang sudah masuk usia tanam 70 - 80 hari, roboh. Batang padi tersebut roboh dengan sendirinya dengan kondisi pangkal batang yang sudah menguning. "Roboh semua batangnya karena sudah dua bulan tidak diairi," kata petani sawah asal Kelurahan Panorama Asmawati (47), Kamis (11/8).
Asmawati melanjutkan, akibat panas berlebihan daun-daun padi menggulung keriting sehingga kebanyakan bulir padi jadi tidak berisi maksimal. Di bagian lain, banyak buah padi juga tidak sempat menjadi bulir sehingga membuat padi mirip seperti rumput biasa. "Mirip ilalang jadinya, daunnya menggulung dan buahnya bantut," kata Asmawati.
Terhadap 1 petak padi yang sudah menggulung semua daunnya tersebut, Asmawati enggan untuk mengurusnya lagi. Sebab, kemungkinan tidak berbuah sudah hampir bisa dipastikan. "Diapa-apakan juga tidak akan membuahkan hasil, jadi kami tinggalkan saja," ujar Asmawati.
Hal sama dikatakan petani Kelurahan Semarang M. Daud (57). Kekeringan sudah membuat ratusan batang padi di sawah miliknya tidak berbuah lagi. Terkait kedatangan Walikota Bengkulu H. Ahmad Kanedi, SH, MH, M. Daud menilai kedatangannya kurang tepat. Sebab tidak mengungkap persoalan dasar yang dihadapi oleh petani selama ini.
"Mestinya pak Wali melihat hulu Air Dendam, itu yang mesti dibongkar (maksudnya, jalan) dan diperbaharui (kondisi lahan). Kami ini cuma penerima dampak saja," ujar Daud.
Namun, Daud tetap mengapresiasi kehadiran Walikota kemarin. Dengan begitu apa yang dipikirkan selama ini tentang ketidak pedulian Kanedi sedikit terbantahkan. "Daripada yang lain (anggota dewan, maksudnya) cuma mengomentari saja, mending juga pak Kanedi mau turun ke sini. Biar tidak juga mendatangkan air, tapi menjawab keraguan kami," ujar Daud.

Dibongkar Pemilik Bangunan
Pasca Walikota H. Ahmad Kanedi, SH, MH meninjau, Pemkot Bengkulu sepertinya tidak main-main untuk merealisasikan pembongkaran bangunan yang sudah mengganggu bangunan irigasi di sepanjang jalan Danau menuju Kompi Brimob. Ditargetkan sebelum lebaran, seluruh bangunan yang menutupi bangunan irigasi sudah bisa difungsikan kembali. Bangunan yang menutupi akan dibongkar oleh pemiliknya.
"Sesuai kesepakatan tadi (11/8), bangunan akan dibongkar sendiri oleh pemilik bangunan. Senin (15/8), surat pemberitahuannya akan dikirimkan oleh Walikota," ujar Ketua Kelompok Petani Pemakai Air (KP2A) Ibnu Hafaz Mazni ditemui usai hearing bersama pemilik ruko dan Asisten I Pemkot Bengkulu Drs. Ali Arifin, di rumahnya (11/8).
KP2A sangat berharap kesepakatan ini dapat dipatuhi semua pemilik ruko. Dengan begitu, apa yang sudah menjadi keresahan ratusan petani padi sawah selama ini dapat segera terselesaikan. "Cepat selesai lebih baik, sudah lama kami menanti realisasi dari Pemkot. Mudah-mudahan ke depan tidak ada lagi persoalan irigasi jadi masalah para petani," ujar pria yang akrab dipanggil Ujang ini. (jek)
Janji Prioritaskan Sawah Kekeringan 
Walau Lambat, Petani Tetap Senang Ditinjau
RBI, BENGKULU – Walikota Bengkulu H. Ahmad Kanedi, SH, MH berjanji akan memprioritaskan solusi terhadap masalah kekeringan sawah yang melanda lebih 300 hektare sawah di kelurahan Panorama, Dusun Besar, Surabaya dan Semarang. Janji tersebut disampaikan dalam dialog dengan petani saat meninjau sawah, Rabu (10/8).
“Untuk persoalan kekeringan ini, akan menjadi konsentrasi Pemkot Bengkulu untuk menindaklanjutinya. Sehingga permasalahan ini menjadi permasalahan bersama. Kami sangat prihatin dan sedih melihat kondisi ini. Saya berharap ini segera cepat selesai. Mudah-mudahan ada hikmah di balik semua ini," kata Kanedi.
Untuk diketahui, Kanedi bersama jajarannya turun meninjau lokasi sawah yang mengalami kekeringan sejak pukul 10.00 - 12.30. "Akhirnya datang juga Pak Wali, sudah hampir mati (maksudnya, padi) baru datang. Tapi daripada tidak sama sekali, kami cukup senang dengan kedatangan Pak Wali," celetuk seorang rombongan petani di Kelurahan Panorama saat melihat rombongan Walikota meninjau sawah.
Dalam kunjungannya, Kanedi langsung meninjau lokasi kekeringan di kelompok tani Embun Pagi yang memang tersedia 1 mesin pompa air 4 inchi. Namun karena BBM yang terbatas dan pasokan air yang menipis sengaja mesin pompa tidak dihidupkan. Dalam dialog, terungkap bahwa petani sudah lama mengeluhkan persoalan irigasi tersebut ke Pemkot Bengkulu melalui Dinas PU.
Kendati sudah dua kali pengajuan dimasukkan, belum pernah direspon Dinas PU. “Usai gempa besar tahun 2004, irigasi disini rusak berat. Lantai dan dinding irigasi jebol, sehingga walaupun air banyak, justru banyak terbuang," kata Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kota Bengkulu Haryadi Yahya.
Menanggapinya, Dinas PU Kota Bengkulu melalui Kepala Bidang Pengairan Ir. Mulyani yang didengarkan Walikota Bengkulu H. Ahmad Kanedi, SH, MH mengatakan, "Survei sudah kami lakukan, semua kerusakannya sudah terdata dan juga sudah dimasukkan dananya untuk anggaran tahun ini."
Usai melakukan pemantauan terhadap kondisi mesin pompa, rombongan Walikota bergerak ke Kelurahan Semarang untuk melihat kondisi persawahan. Temuan di lapangan, memang lebih memprihatinkan dibandingkan kondisi persawahan di Kelurahan Panorama dan Dusun Besar. Sawah di Kelurahan Semarang sama sekali tidak memiliki akses air ataupun pompa yang tersedia. Sehingga hampir keseluruhan petak sawah merekah kering dengan batang tanaman padi yang sudah mengering karena tidak terasupi air.
Seorang petani yang hadir mengungkapkan permohonan kepada Walikota untuk membantu pasokan air dengan sistem pompanisasi menggunakan air Sungai Bengkulu. Dijawab Kanedi, "Kami akan kaji dulu, nanti sudah disiram justru tanaman malah mati karena tercemar. Air di sana kan kabarnya sudah tercemar. Namun kalau memang layak nanti, akan kami upayakan."
Terakhir, rombongan bergerak kembali ke Surabaya untuk memantau kondisi beberapa bangunan yang sudah mengganggu irigasi petani. Berdasar pengamatan, Kanedi berjanji akan segera menyelesaikan persoalan tersebut dengan melakukan pemanggilan dan pendataan semua pemilik bangunan yang sudah menutupi bangunan irigasi tersebut.
"Akan difungsikan lagi sebagaimana mestinya. Irigasi ini kan milik banyak orang, kami akan meminta mereka membenahi kembali semua bangunan ini, tidak terkecuali. Sehingga biar lancar semua nanti, kasihan para petani," ujar Kanedi. (jek)