Menteri LH Usut Kasus Pencemaran Air Bengkulu 
1 Agustus Ambil Sampel
     Masalah pencemaran daerah aliran sungai (DAS) Air Sungai Bengkulu sudah menjadi perhatian serius dari pemerintah pusat. Bila tidak ada halangan, Menteri Lingkungan Hidup Prof. Dr. Ir. H. Gusti Muhammad Hatta, MS bersama tim kementerian LH akan ambil sampel air DAS Air Bengkulu untuk ambil sampel air.
      "Informasinya, pengambilan dilakukan di kawasan tambang dan pengolaan karet dan minyak sawit," ujar Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB Dr. Ir. Syaiful Anwar, M. Si yang diiyakan Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) Kementerian Kehutanan Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Dr. Ir. Eka W Soegiri, MM dan perwakilan Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL) Ir. Tonny H Widianarto, M. Si ditemui usai kegiatan Sosialisasi Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Bengkulu tahun 2011 di Raffles City Hotel, Rabu (27/7).

Gubernur Harus Bertindak
Eka juga menilai persoalan dasar tak kunjung selesainya persoalan pencemaran Air Bengkulu karena tidak terbangunnya harmonisasi dan komunikasi antar pihak terkait. Akibat masing-masing pihak bekerja sendiri tanpa kesatuan arah yang jelas, sehingga membuat kebingungan ketika akan mengambil sebuah tindakan dan keputusan yang menyangkut persoalan antar wilayah.
"Ibarat lagu, biar terbangun harmonisasi harus ada dirigennya. Dalam hal pencemaran yang melingkupi dua wilayah, Gubernur atau Pemprov harus bertindak sebagai dirigennya. Kalau tidak, tidak akan pernah terselesaikan persoalan tersebut, masing-masing pihak akan saling lempar tanggung jawab terus," tutur Eka.
Dengan begitu, sambung Eka, apa yang menjadi polemik persoalan pemerintah dalam merespon persoalan pencemaran dapat segera terindentifikasi dan terlokalisasi (terpetakan) sejauh mana besaran, dampak ikutan dan strategi penyelesaiannya. "Kepentingan DAS dan air ini kan bukan cuma milik segelintir orang. Mulai dari nasional, sektor, kabupaten, kota, provinsi, rumah tangga, industri dan lain sebagainya punya kepentingan. Identifikasi dan lokalisir masalahnya, pasti terjawab nanti," ujar Eka.
Dengan begitu, tambah Eka, kedepannya akan terwujud kerangka pikir tentang Visi, Interpretasi dan Persepsi (VIP) yang sama bahwa persoalan pencemaran sampai dengan semua permasalahan di DAS Air Bengkulu adalah tanggung jawab dan kepemilikan bersama semua pihak. "Tinggal lagi berbagi peran masing-masing di semua lembaga, tujuan boleh saja beda yang penting tetap mengarah pada perbaikan kualitas DAS Air Bengkulu atau lingkungan," kata Eka.

Wajib Ada Kompensasi Hulu Hilir
Menanggapi kemungkinan ruang bagi pihak Kabupaten/Kota untuk dapat menerima ganti rugi bila wilayah mereka menjadi korban pencemaran aktivitas industri di daerah hulu, "Warga atau masyarakat ataupun Pemkab/Pemkot berhak untuk meminta ganti rugi, jika mereka merasa dirugikan. Artinya kompensasi hulu hilir itu wajib dan sudah menjadi hak bagi masyarakat." ujar Eka.
      Kompensasi tersebut, tambah Eka, termaktub dalam kaidah polluter pay principle (pencemar harus membayar) yang sudah diterapkan di berbagai negara. Hanya saja, sayangnya di Indonesia kaidah tersebut belum menjadi titik tolak kebijakan untuk mengatasi persoalan pencemaran. Padahal dengan menggunakan kaidah tersebut dapat menjadi instrumen yang efisien dan efektif sebagai biaya pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
      Eka menambahkan, prinsip pencemar membayar didasari atas prinsip bahwa setiap pelaku pencemaran harus tetap dapat dituntut tanggung-gugatnya (to be held accountable) tanpa mempertimbangkan apakah pihak pencemar telah mematuhi peraturan atau pun mempunyai reputasi baik dalam pengelolaan lingkungan hidup. Karena, sambung Eka, tindak pencemaran tersebut, berdasarkan UU No.32 tahun 2009, merupakan suatu tindak kejahatan lingkungan, maka hal ini juga mengandung makna adanya tanggung-gugat dari penangggung jawab kegiatan (top management) untuk dapat dituntut secara pidana atas tindak pelanggaran kejahatan lingkungan tersebut.
      "Artinya secara sederhana, tambang yang ada di hulu DAS Air Bengkulu, karena sudah mencemari berarti harus bayar (ganti rugi) kepada warga kota atau Kabupaten. Angkanya silahkan saja, dianalisis berdasar luasan dampak yang ditimbulkannya." ujar Eka.
      Namun demikian, tambah Eka, penerapan kaidah polluter pay principle tersebut, sepantasnya juga harus setepatnya. Sebab jika di telaah lebih jauh, maka para pengumpul batu bara yang juga menyumbang kekeruhan di Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) di Kelurahan Surabaya bisa terkena beban tersebut. "Jadi, sebijaknya lah. Nanti protes pula para pengumpul batu baranya, mereka kan juga termasuk salah satu bagian dari pencemarnya, soalnya," ujar Eka. (jek)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar