Djumarin, Sang Penghalau Hujan
Percaya atau tidak, mitos orang-orang yang bisa menghalau hujan atau
memindahkan awan, pengendali cuaca, dukun siwer atau entah apalagi istilahnya, jelas bukan
barang baru di negara kita. Bahkan tak jarang, khususnya untuk acara-acara besar mereka
diundang. Mulai dari masyarakat biasa sampai dengan pejabat tinggi negeri ini pernah
berhubungan dengan para penghalau hujan ini. Bahkan konon kabarnya, Cina waktu
penyelenggaraan olimpiade Beijing (2008) juga sibuk mengantisipasi hujan, isunya mereka
menyiapkan tiga teknologi mutakhir untuk menghindari hujan. Pertama, berupa meriam penangkis
udara yang berisi garam iodium untuk mengikat butiran air di awan. Keduanya, dengan
menyediakan peluncur roket jika upaya pertama gagal dilakukan, dan yang ketiga dengan
menggunakan pesawat ringan untuk menebarkan katalis pada awan hitam. Dan terbukti, dengan
upaya pertama saja mendung berhasil disingkirkan dan olimpiade berlangsung tanpa hujan.
Teknologi mahal ini, untuk ukuran Indonesia rupanya cukup digantikan dengan para penghalau
hujan atau yang akrab di telinga kita dengan sebutan Pawang hujan ini. Konon katanya hanya
orang-orang tertentu yang bisa memilikinya atau memang sudah keturunan dari sononya.
Terlepas dari isu praktik klenik atau bukan, pelaku pawang hujan hidup dan hadir
ditengah-tengah masyarakat kita.
Seperti disampaikan Djumarin (51), pria asal Banyuwangi, Jawa Timur, mengaku sudah selama
seperempat abad berprofesi sebagai pawang hujan di Bengkulu. Keahlian yang diyakininya
diturunkan oleh nenek moyangnya, Djumarin lumayan tersohor diantara para pawang hujan
lainnya yang ada di Bengkulu. Djumarin kerap diundang ke Lampung, Jambi dan beberapa
penyelenggara event besar untuk, seperti Konser Djarum di Bengkulu, launching perdana XL,
pembukaan festival tabot, bahkan sampai untuk acara kawinan, kredibilitas Djumarin
menaklukkan hujan sampai hari ini masih dipercaya masyarakat.
"Udah banyak yang minta dibantuin biar acaranya nggak batal karena hujan. Saya saja sudah
hampir hampir lupa kapan saja waktunya. Kalau Jambi dan Lampung udah sering saya
diikutsertakan sama pejabatnya," ujar Djumarin dengan logat Jawanya yang kental.
Keahliannya menghalau hujan ini, cerita Djumarin, sudah dimilikinya semenjak usia 17 tahun.
Didapatkannya melalui mimpi (wangsit), Djumarin muda akhirnya mendadak bisa menghafal dan
membacakan seluruh doa dan jampi untuk menghalau hujan atau mengobati orang sakit. Namun
demikian lanjut Djumarin, dirinya tidak langsung berpongah diri, untuk lebih memperdalamnya
Djumarin juga tetap belajar dengan guru atau yang dituakan dan dianggap memiliki kemampuan
yang sama. Delapan tahun Djumarin memperdalam keahliannya, dan delapan tahun juga Djumarin
belum berani menunjukkan kemampuannya. "Yang tua-tua kan banyak, nggak mungkinlah saya yang
masih muda sudah berani bilang bisa usir hujan. Saya tetap belajar kok, guru saya banyak ada
11 orang, tapi sayang semuanya sudah wafat. Umur 25 saya baru berani mempraktikkan ilmu
saya," kenang Djumarin.
Dalam prosesi ritual pengusir hujannya, diceritakan Djumarin, hanya membutuhkan waktu kurang
lebih 1 jam melakukannya. Seluruh kelengkapan dan peralatan ritual seperti, bunga Kantil 3
biji, bunga mawar merah dan putih masing-masing 3 kuntum, kenanga 9 tangkai, kemenyan arab,
Rokok Gudang Garam Merah 1 bungkus, Telur ayam kampung 3 butir, alat makan sirih 1 set
lengkap, nasi bulat (golong, Jawa. Red) 7 buah, nasi tumpeng ayam bakar 1 porsi dan 1 posri
lagi pakai urap, nasi rosul (nasi gemuk) berlauk ayam Ingkung 1 porsi, minyak Fanbo Gloria 5
1 buah, dan 2 helai janur kelapa muda, harus disiapkan oleh pemohon atau yang punya hajatan,
kecuali pemohon memiliki keterbatasan waktu, Djumarin bersedia menyiapkan semua kelengkapan
ritual tersebut dengan beban biaya ditanggung oleh pemohon. "Kalau nggak lengkap
perlengkapannya, kemungkinan terkabul kecil. Saya ini cuma memfasilitasi doa dan berpamit
kepada penguasa awan, angin, air dan tanah, semua keputusan tetap atas persetujuan yang di
atas (Allah S.W.T)," ujar Djumarin
Setelah semua ritual siap, lanjut Djumarin, doa ritual baru bisa dilaksanakan. Biasanya
Djumarin memilih tempat yang jauh dari keramaian (tempat acara), bisa di kamar, dalam mobil
atau mungkin juga di lapangan khusus. Pemilik acara hajatan juga harus ikut atau hadir saat
Djumarin melakukan ritualnya. Diyakini Djumarin, untuk menunjukkan kepada yang di atas,
bahwa mereka sebetulnya yang memohon izin untuk memindahkan hujan. Djumarin hanya sebagai
mediatornya saja.
"Orang rumahnya harus ikut juga dengan saya. Jadi, kalau nggak ada kamar atau tempat khusus,
biasanya dalam mobil, seperti konser musik di Ketahun dulu, saya harus duduk di dalamnya,"
terang Djumarin.
Jauh sebelum prosesi ritual pemindahan hujan, ditambahkan Djumarin, umumnya para
penyelenggara kegiatan atau hajatan harus memberitahukan sekurang-kurangnya 3 hari sebelum
pelaksanaan, agar Djumarin dapat mempersiapkan diri. Diceritakan Djumarin, dirinya harus
suci dari segala macam kotoran, dan rutin untuk melakukan wiridan.
"Bercampur dengan istri pun tidak bisa, biar doa yang saya panjatkan lebih mujarab," ujar
Djumarin.
Untuk tarif, ditambahkan Djumarin, tidak pernah dirinya memasang tarif khusus, semuanya
tergantung keikhlasan dari pemilik hajatan. Umumnya, lanjut Djumarin, sekali diundang untuk
menolak hujan, dirinya dibayar Rp 2,5 juta per hari atau Rp 6 juta untuk 1 minggu. "Kalau
kawinan, biasanya orang cuma kasih uang saku, kadang ada yang kasih Rp 250 ribu. Yang pasti
saya tidak ada tarif khusus kok," ujar Djumarin.
//Tidak Boleh Menanam Karena Selalu Mati, Pernah Jadi Penggali Sumur,
Pria yang sempat menamatkan sekolahnya di Pendidikan Guru Agama Darul Ulum, Banyuwangi pada
tahun 1982 ini, sebelum memutuskan untuk hijrah ke Bengkulu pada tahun 1993, diceritakan
Djumarin, waktu informasi kelulusan, Djumarin sempat ditakut-takuti tidak lulus dan harus
mengulang kembali tahun depan. Djumarin muda yang masih dipenuhi gelora muda ini akhirnya
mengambil jalan pintas, dengan mengancam dan memukuli salah seorang gurunya, walhasil
Djumarin lulus namun tidak berijazah. "Kalau surat tanda tamatnya ada saya, tapi ijazahnya
ditahan. Ya itu tadi, karena saya pukuli gurunya, karena menakut-nakuti saya," ujar Djuamrin
polos
Pasca kelulusannya, Djumarin nekat merantau ke Lampung, dan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, lanjut Djumarin, dirinya akhirnya melamar sebagai tenaga guru di salah satu
Sekolah Dasar yang ada di dusun Sri Meranti (Lampung), Djumarin lolos, namun sayang karena
tidak punya uang Rp. 1,5 juta, akhirnya dirinya batal jadi guru, dan kemudian memutuskan
diri bekerja sebagai petugas pencatat nikah di Lampung, "4 tahun saya jadi pencatat nikah.
Mau jadi guru, uang nggak ada, waktu itu sekitar tahun 82 an lah," kenang Djumarin
Setelah meminang Siti Sukantitiwi, gadis asal Ponorogo yang tinggal di Lampung. Sekitar
tahun 89', tambah Djumarin, akhirnya memboyong istrinya untuk pindah ke Bengkulu, di desa
Talang Sali, Bengkulu selatan waktu itu. "Cari kerja susah, buka ladang gagal terus.
Akhirnya saya sama istri 10 tahun jadi tukang gali sumur, kira-kira anak pertama saya kelas
4 SD baru saya berhenti dan kemudian menetap di Bentiring," kenang Djumarin
Anehnya, kendati sampai dengan saat ini, pria 3 orang anak ini sudah memiliki rumah sendiri,
sawah dan kebun sawit, anak pertamanya bahkan sekarang masih duduk di semester III, PGSD
Unib. Djumarin tidak pernah bisa bercocok tanam, menurut Djumarin, tangannya kalau memegang
tanaman pasti tidak akan hidup, "Kurang tahu saya apakah ini tuah atau pantangan untuk saya,
tapi yang jelas setiap mau tanam apa saja, seperti cabe, besoknya pasti mati," ujar Djumarin
Anak ke sepuluh dari 14 bersaudara ini menuturkan, kedepan anak perempuan pertamanya (Siti
Fatimah), dapat segera menamatkan kuliahnya untuk kemudian bekerja di perusahaan besar,
untuk dapat membantu ibu dan kedua adiknya, "Saya pengen Ia jadi orang besar, rumahnya sudah
saya belikan di Lampung. Kalau sekarang ditunggu oleh mertua, untuk bekal Siti besok," ujar
pria yang tinggal di jalan pondok bulat, Bentiring ini (jek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar