Petani Dimiskinkan Secara Sistematis ?
       Ancaman gagal panen dan kekeringan yang melanda ratusan petani padi sawah di Kota Bengkulu sebagai akibat susutnya air Danau Dendam Tak Sudah (DDTS) yang merupakan sumber air irigasi dinilai bukan hanya bentuk kelalaian Pemkot. Bahkan diduga kuat sebagai bentuk skenario sistematis untuk merusak keberlangsungan Cagar Alam Danau Dusun Besar (CADDB) dan memiskinkan ratusan petani padi sawah.
"Bukan tidak mungkin ini sudah terskenario secara sistematis. Telusuri saja skenario ini, maka akan terbedah bahwa seolah-olah seperti ada kesengajaan untuk mengganggu keberlanjutan CADDB dan kekeringan sawah yang terjadi," ujar Direktur Yayasan Lembak Bengkulu Ir. Usman Yassin, M. Si, Minggu (31/7)
Jika seandainya tidak ada kesengajaan untuk memaksakan pembuatan jalan di daerah Nakau menuju Air Sebakul yang membelah kawasan CADDB pada 1990 dan juga pengalihan air hulu DDTS ke sungai Air Bengkulu tentu tidak akan pernah terjadi kekeringan yang melanda para petani padi sawah.
"Andalan air irigasi ini kan cuma dari DDTS. Sedikit saja gangguan di hulunya, efeknya bisa dilihat sekarang. Apalagi sumber air bantu di hulunya sudah dialihkan ke Air Bengkulu, jadi wajar saja kalau DDTS ini cuma mengandalkan air hujan," ujar Usman.
Dengan begitu, wajar ketika di musim kemarau dan kemudian terjadi penurunan debit air di DDTS, maka pasokan air irigasi DDTS tidak mampu memenuhi suplai air untuk ratusan hektar sawah di Kelurahan Dusun Besar, Surabaya dan Kebun Tebeng. Selanjutnya, bisa berakibat pemiskinan bagi para petani padi sawah tersebut. "Cepat atau lambat, petani ini kemudian tidak bisa lagi menanam padi di sawah. Ya, selanjutnya mungkin saja nanti sawah-sawah ini kemudian berakhir menjadi pemukiman," ujar Usman.
Berdasar penelusuran dan kajian yang dilakukan Yayasan Lembak Bengkulu, beberapa langkah skenario tersebut bermula dari surat Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu Nomor : 522.51/1238/II/B.5 tertanggal 24 Januari 1990 tentang Permohonan Izin pinjam pakai Kawasan Cagar Alam Danau Dusun Besar untuk pembuatan jalan. Surat yang ditujukan kepada Kementerian Kehutanan dan Kanwil Kehutanan Provinsi Bengkulu tersebut, sambung Usman, belum direspon Kementerian Kehutanan. Diduga karena tahun sebelumnya Kanwil Kehutanan Povinsi Bengkulu sudah membuat surat untuk melakukan penggeseran jalan kepada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bengkulu dengan Surat Nomor . 657/II/Kanwil-4/1989 tanggal 28 September 1989 yang isinya meminta agar dalam pelaksanaan pembangunan jalan poros tersebut tidak menggunakan atau melewati kawasan CADDB. "Namun, praktiknya jalan tetap dibangun pada 1990. Inilah cikal bakal perusakan ini," ujar Yassin.
Untuk melegalisasikan jalan yang sudah terlanjur dibangun, Pemprov Bengkulu terus memperjuangkan pengubahan status CADDB menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Alhasil, disetujui Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Menteri Kehutanan No. 732/Menhut-V/2001 tanggal 22 Mei 2001. Tapi Walikota Bengkulu menolak perubahan status CADDB menjadi TWA melalui surat No. 522.51/221/B.4/Bappeda tanggal 30 April 2002 tentang Mengembalikan Fungsi Cagar Alam Danau Dusun Besar ke Menteri Kehutanan. Dalam surat tersebut, Walikota juga meminta Menteri Kehutanan membongkar dan tidak memfungsikan kembali Jalan Nakau – Sebakul sebagai jalan umum.
"Akhirnya setelah perdebatan panjang, disepakati lah untuk menutup jalan ini dengan terbitnya Keputusan Gubernur Bengkulu Nomor : 522/3771/B.3 tertanggal 26 Juni 2002 dan surat dari BKSDA kepada Kepala Dinas PU Provinsi Bengkulu No. S.299.1/IV.K-7/Ren/2005 tanggal 25 Mei 2005 tentang Pembongkaran Trase Jalan yang berada/melintasi Kawasan Cagar Alam Danau Dusun Besar," ujar Usman.
Sayangnya, sambung Usman, masuk tahun 2009 sebagai akibat banyaknya truk-truk yang melebihi tonase melintas ke dalam Kota Bengkulu, akhirnya wacana penerusan pembangunan jalan yang melintas Nakau-Air Sebakul mulai dihembuskan lagi. Walikota Bengkulu yang saat itu dijabat Chalik Effendi (Alm) pun kembali mendesak untuk melakukan perubahan status CADDB menjadi TWA.
"Sampai sekarang belum tahu ujungnya kemana. Sementara efek negatifnya mulai mengakumulasi dan bermunculan tahun ini," ujar Usman.

KP2A Datangi PU, Bongkar Sendiri Irigasi
Terpisah, Ketua Kelompok Petani Pengguna Air (KP2A) Ibnu Hafaz mengatakan jika tidak ada halangan pihaknya akan mendatangi Dinas pekerjaan Umum Kota Bengkulu selaku pihak yang paling bertanggung jawab terhadap persoalan gangguan irigasi di DDTS."Minggu ini, kami akan upayakan ke PU, tidak mungkin kami menunggu berlama-lama, sementara kekeringan ini semakin meluas," ujar pria yang akrab dipanggil Ujang ini, Minggu (31/7).
Jika tidak ada respon atau iktikad dari Dinas PU untuk segera mengambil tindakan pembongkaran terhadap bangunan warga yang sudah merusak irigasi tersebut, KP2A bersama petani akan melakukan aksi pembongkaran sendiri."Jika memang tidak ada iktikad nyata dari PU nanti, biar kami yang bongkar sendiri irigasi kami nanti," ujar Ujang. (jek)

Menteri LH Usut Kasus Pencemaran Air Bengkulu 
1 Agustus Ambil Sampel
     Masalah pencemaran daerah aliran sungai (DAS) Air Sungai Bengkulu sudah menjadi perhatian serius dari pemerintah pusat. Bila tidak ada halangan, Menteri Lingkungan Hidup Prof. Dr. Ir. H. Gusti Muhammad Hatta, MS bersama tim kementerian LH akan ambil sampel air DAS Air Bengkulu untuk ambil sampel air.
      "Informasinya, pengambilan dilakukan di kawasan tambang dan pengolaan karet dan minyak sawit," ujar Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB Dr. Ir. Syaiful Anwar, M. Si yang diiyakan Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) Kementerian Kehutanan Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Dr. Ir. Eka W Soegiri, MM dan perwakilan Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL) Ir. Tonny H Widianarto, M. Si ditemui usai kegiatan Sosialisasi Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Bengkulu tahun 2011 di Raffles City Hotel, Rabu (27/7).

Gubernur Harus Bertindak
Eka juga menilai persoalan dasar tak kunjung selesainya persoalan pencemaran Air Bengkulu karena tidak terbangunnya harmonisasi dan komunikasi antar pihak terkait. Akibat masing-masing pihak bekerja sendiri tanpa kesatuan arah yang jelas, sehingga membuat kebingungan ketika akan mengambil sebuah tindakan dan keputusan yang menyangkut persoalan antar wilayah.
"Ibarat lagu, biar terbangun harmonisasi harus ada dirigennya. Dalam hal pencemaran yang melingkupi dua wilayah, Gubernur atau Pemprov harus bertindak sebagai dirigennya. Kalau tidak, tidak akan pernah terselesaikan persoalan tersebut, masing-masing pihak akan saling lempar tanggung jawab terus," tutur Eka.
Dengan begitu, sambung Eka, apa yang menjadi polemik persoalan pemerintah dalam merespon persoalan pencemaran dapat segera terindentifikasi dan terlokalisasi (terpetakan) sejauh mana besaran, dampak ikutan dan strategi penyelesaiannya. "Kepentingan DAS dan air ini kan bukan cuma milik segelintir orang. Mulai dari nasional, sektor, kabupaten, kota, provinsi, rumah tangga, industri dan lain sebagainya punya kepentingan. Identifikasi dan lokalisir masalahnya, pasti terjawab nanti," ujar Eka.
Dengan begitu, tambah Eka, kedepannya akan terwujud kerangka pikir tentang Visi, Interpretasi dan Persepsi (VIP) yang sama bahwa persoalan pencemaran sampai dengan semua permasalahan di DAS Air Bengkulu adalah tanggung jawab dan kepemilikan bersama semua pihak. "Tinggal lagi berbagi peran masing-masing di semua lembaga, tujuan boleh saja beda yang penting tetap mengarah pada perbaikan kualitas DAS Air Bengkulu atau lingkungan," kata Eka.

Wajib Ada Kompensasi Hulu Hilir
Menanggapi kemungkinan ruang bagi pihak Kabupaten/Kota untuk dapat menerima ganti rugi bila wilayah mereka menjadi korban pencemaran aktivitas industri di daerah hulu, "Warga atau masyarakat ataupun Pemkab/Pemkot berhak untuk meminta ganti rugi, jika mereka merasa dirugikan. Artinya kompensasi hulu hilir itu wajib dan sudah menjadi hak bagi masyarakat." ujar Eka.
      Kompensasi tersebut, tambah Eka, termaktub dalam kaidah polluter pay principle (pencemar harus membayar) yang sudah diterapkan di berbagai negara. Hanya saja, sayangnya di Indonesia kaidah tersebut belum menjadi titik tolak kebijakan untuk mengatasi persoalan pencemaran. Padahal dengan menggunakan kaidah tersebut dapat menjadi instrumen yang efisien dan efektif sebagai biaya pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
      Eka menambahkan, prinsip pencemar membayar didasari atas prinsip bahwa setiap pelaku pencemaran harus tetap dapat dituntut tanggung-gugatnya (to be held accountable) tanpa mempertimbangkan apakah pihak pencemar telah mematuhi peraturan atau pun mempunyai reputasi baik dalam pengelolaan lingkungan hidup. Karena, sambung Eka, tindak pencemaran tersebut, berdasarkan UU No.32 tahun 2009, merupakan suatu tindak kejahatan lingkungan, maka hal ini juga mengandung makna adanya tanggung-gugat dari penangggung jawab kegiatan (top management) untuk dapat dituntut secara pidana atas tindak pelanggaran kejahatan lingkungan tersebut.
      "Artinya secara sederhana, tambang yang ada di hulu DAS Air Bengkulu, karena sudah mencemari berarti harus bayar (ganti rugi) kepada warga kota atau Kabupaten. Angkanya silahkan saja, dianalisis berdasar luasan dampak yang ditimbulkannya." ujar Eka.
      Namun demikian, tambah Eka, penerapan kaidah polluter pay principle tersebut, sepantasnya juga harus setepatnya. Sebab jika di telaah lebih jauh, maka para pengumpul batu bara yang juga menyumbang kekeruhan di Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) di Kelurahan Surabaya bisa terkena beban tersebut. "Jadi, sebijaknya lah. Nanti protes pula para pengumpul batu baranya, mereka kan juga termasuk salah satu bagian dari pencemarnya, soalnya," ujar Eka. (jek)

Pemkot Lalai, Ratusan Petani Mulai Merugi 
Bencana Distimulasi Pemerintah 
        Ratusan petani sawah Kelurahan Dusun Besar, Surabaya dan Kebun Tebeng berencana tidak akan menanam padi pada musim kedua usai lebaran nanti. Dikarenakan ratusan hektar sawah mereka terancam gagal panen akibat kekeringan dan tidak kunjung direalisasikannya rencana Pemkot untuk membongkar bangunan yang merusak saluran irigasi yang mengalirkan air dari Danau Dendam Tak Sudah.
"Lima puluh persen lebih sawah kami sudah kekeringan dan sangat memungkinkan sekali akan terjadi gagal panen. Jika tidak segera ditindaklanjuti, lebih baik kami tidak usah tanam padi lagi usai lebaran nanti," ujar Ketua Kelompok Petani Pemakai Air (KP2A) Bengkulu yang juga sebagai Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Provinsi Bengkulu, Ibnu Hafaz saat ditemui usai melakukan pertemuan dengan Asisten I Pemkot Drs. Ali Arifin, Sabtu (30/7).
Sebab, sambung Ujang, tidak ada iktikad baik dari Pemkot untuk menindaklanjuti masalah banyaknya bangunan yang berdiri di sekitar kawasan irigasi. "Dari 4 bulan lalu sudah disuarakan dan pernah dibahas oleh Pemkot. Tapi apa, sampai detik ini, sudah mengering dan terancam gagal panen, belum juga ada reaksi nyata dari Pemkot," ujar pria yang membawahi sedikitnya 335 petani padi.
Bahkan, tambah Ujang, janji sebelumnya untuk pembongkaran bangunan yang sudah mengganggu aliran irigasi sekunder yang sudah ditandatangani pada 31 Maret 2011 oleh Asisten I Pemkot, DPRD Kota, Dinas PU, Dinas Tata Kota dan Pengawas Bangunan, Bappeda Kota dan diikuti oleh Yayasan Lembak, KTNA Kota, KP2A dan Camat Singaran Pati serta Lurah Dusun Besar, diingkari. "Sekarang kami disuruh lagi ke PU, katanya sudah dilimpahkan kesana. Kapan lagi? Petani sudah tidak bisa menunggu waktu lagi, kalau ditunda terus. " ujar Ujang.
Malahan, sambung Ujang, dalam pertemuan di ruangan Asisten I kemarin (30/7), Asisten I Pemkot Drs. Ali Arifin justru berkilah kalau ini kebijakan Asisten sebelumnya (Jonny Simamora). Sehingga Ujang semakin menyangsikan akan segera direspon persoalan ini. "Kata Pak Ali, Dinas PU yang urus. Beliau tidak paham, silakan kami berkoordinasi lagi ke PU. Jadi seperti tidak ada penyelesaian saja," ujar Ujang.
Menanggapi ini, Asisten I Pemkot Drs. Ali Arifin berdalih Pemkot bersama dinas PU sudah turun lapangan langsung beberapa waktu lalu. Dinas PU pun sudah membuat gambar rancang bangun irigasi yang akan dibuatkan untuk pengganti persoalan kekeringan air yang melanda petani. "Gambarnya sudah dibuatkan PU, tinggal lagi tunggu PU saja," ujar Ali singkat.
Sekretaris Komisi III DPRD Kota Nuharman, SH yang juga berdialog dengan Ketua KP2A di DPRD Kota menilai penyelesaina masalah tersebut tidak lah membutuhkan waktu yang lama. Sebab, seluruh bangunan yang sudah mengganggu aliran air irigasi, tidak dibenarkan.  "Tidak perlu lagi surat menyurat, izin tidak ada, merugikan ratusan petani lagi. Bongkar saja, ratusan petani sawah disana lebih penting daripada surat menyurat. PU Harus selesaikan ini segera," ujar Nuharman.

Diawali 1991
Kondisi kekurangan air yang sudah melanda ratusan petani sawah ini, jelas Ujang, harusnya tidak akan pernah terjadi jika saja sumber pasokan air untuk DDTS tidak pernah diputus untuk pembuatan jalan dan pemukiman pada 1991. Selain mengandalkan curah hujan, DDTS juga tergantung dari pasokan air dari hulu air atau 'ulu tulung' (istilah lokal) yang terletak di Desa Taba Pasemah, Talang Empat. "Sekarang kan airnya sudah diputus untuk jalan dan rumah, alirannya dialihkan ke Air Bengkulu. Jadi Dendam tak lebih seperti kantong air saja yang menunggu curah hujan tinggi baru penuh," kata Ujang.
Jika sebelumnya beberapa tahun dulu petani tidak pernah khawatir untuk kekeringan sekalipun di musim kemarau, sekarang harus ketar-ketir untuk mencari air. Ditambah pula siklus kemarau semakin tidak stabil sehingga semakin mempersulit petani. "Seolah tidak ada irigasi teknis lagi, DDTS sekarang cuma mengandalkan hujan saja, maka kami pun juga begitulah kira-kira," ujar Ujang.
Selain itu, sambung Ujang, kondisinya semakin diperparah oleh beberapa bangunan yang sudah berdiri di sepanjang jalur lintas persawahan di sepanjang irigasi yang sudah dibangun. Sehingga semakin mempersulit petani untuk mendapatkan akses air untuk sawah. "Semuanya sudah kompleks dan semakin rumit saja," ujar Ujang.

Danau Dendam Menyusut Distimulasi Pemerintah
Sementara, Direktur Yayasan Lembak Usman Yassin membenarkan, pangkal mula masalah ini, adalah dari aktifitas proyek yang dicanangkan oleh Pemerintah. Pembangunan jalan di tahun 1991 menjadikan cagar alam ini menjadi terbelah dua, termasuk juga mengalihkan air hulu DDTS ke sungai Air Bengkulu. "Ini malapetaka besar bagi kita semua. Dan parahnya lagi justru Pemerintah yang menstimulasi semua bencana ini," ujar Yassin.
Efeknya, sambung Yassin, sudah bermunculan sekarang. Debit air di DDTS sudah mengalami penyusutan sedemikian rupa, ratusan hektar sawah menjadi kering dan kemudian selanjutnya tinggal lagi menunggu kegagalan panen bagi ratusan petani yang menganggantungkan hidup di sawah. "Mungkin saja tidak lama lagi kita akan ketemu dengan yang namanya rawan pangan di Kota Bengkulu," ujar Yassin.
Untuk itu, Yassin berharap Pemkot Bengkulu melalui Dinas PU dapat segera menindaklanjuti persoalan tersebut. "Mengawalinya dengan bongkar irigasi tadi, baru kemudian sebagai jangka panjangnya harus dipikirkan bagaimana menjaga debit air di DDTS. Mereka yang menanam, mereka juga yang menjawab persoalan ini," ujar Yassin. (jek)